Kesenjangan proteksi (protection gap) asuransi
jiwa masih banyak terjadi di kalangan masyarakat. Bagaimana menata
ulang proteksi keluarga Anda untuk perlindungan sepenuh hati?
Sejauh ini kehidupan keluarga muda pasangan Irwan –
Yanti baik-baik saja. Mereka berbahagia dengan dua buah hati yang masih
kecil, meski gaya hidupnya sederhana. Namun, mala petaka itu membuat
semuanya berubah. Secara mendadak, Irwan (35 tahun) tewas akibat
kecelakaan maut atas motor yang dikendarainya. Yanti (30 tahun) pun shock karena dia hanya ibu rumah tangga dan tulang punggung keluarga telah tiada.
“Ketika suami saya meninggal dunia dalam keadaan jobless,”
ucap Yanti. Tak pelak, dia makin stres. Jangankan memikirkan untuk
biaya hidup jangka panjang, saat suami wafat pun tiada uluran tangan
finansial yang dapat diharapkan. Dia hanya pasrah, nasib ada di tangan
Tuhan, begitu pikirnya.
Beberapa hari setelah pemakaman almarhum Irwan,
kegalauan Yanti sedikit terobati. Pasalnya, dia didatangi seorang teman,
namanya Wulan, yang memberikan secercah harapan. Kebetulan Wulan agak
paham soal asuransi. “Apakah Irwan memiliki polis asuransi,” tanya Wulan
kepada Yanti. Pertanyaan itu membangkitkan semangat Yanti karena dia
ingat bahwa sang suami pernah membeli produk asuransi jiwa dengan premi
Rp 90 ribu per bulan. Saat itu juga mereka mengurusnya ke perusahaan
asuransi yang bersangkutan. Beberapa hari kemudian, klaim asuransi itu
cair.
“Alhamdulilah kami mendapat klaim asuransi
jiwa atas kematian sebesar Rp 200 juta. Apalagi ada tambahan santunan Rp
20 juta untuk biaya pendidikan anak-anak,” ujarnya dengan nada penuh
syukur sembari beruraian air mata. Hari ini dia membuktikan secara nyata
manfaat asuransi yang sangat berguna bagi kelangsungan hidup
keluarganya.
Setelah kejadian ini, Yanti menggunakan duit Rp 200
juta untuk membeli beberapa rumah petak untuk dikontrakkan. Tujuannya,
untuk mendapatkan passive income sebagai dana penyambung hidup
saban bulan. Juga, berdagang kecil-kecilan buat uang jajan kedua
anaknya. Tak lupa, dari sebagian dari hasil pemasukaannya itu dibelikan
lagi polis asuransi jiwa yang sudah teruji keuntungannya bagi ahli waris
pemegang polis.
Lain lagi kisah Fitri (37 tahun). Betul, wanita single yang
bekerja di sebuah media nasional itu memang telah mengantongi polis
asuransi kesehatan dari kantor tempatnya bekerja. Tapi, masalahnya
apakah nilai pertanggungan asuransinya atau proteksi sudah mencukupi?
Fitri hanya menggelengkan kepala saat ditanya hal itu.
Fitri punya pengalaman pahit soal proteksi asuransi
yang tidak memadai. Diceritakannya, beberapa waktu lalu dia harus
menjalani operasi tumor payudara, bahkan dirujuk ke rumah sakit di
Singapura. Bisa ditebak, biayanya pun membengkak. “Pengobatan saya di
luar negeri menghabiskan dana puluhan juta, sementara nilai proteksi
asuransi dari kantor cuma makimal Rp 10 juta,” kenangnya pilu.
Nah, pelajaran dari musibah itu, lanjut Fitri,
dirinya harus memproteksi diri dengan nilai pertanggungan yang memadai.
Itulah sebabnya, sejak saat itu dia membeli lagi polis asuransi
kesehatan yang dibayar secara pribadi. “Asyiknya produk asuransi saya
itu juga bermuatan investasi. Namanya unit link, benefit-nya
ganda: proteksi sekaligus investasi, Bayar preminya sekitar Rp 300 ribu
per bulan,” dia menuturkan. Sekarang, Fitri sudah berkeluarga dan
menetap di Swedia mengikuti suaminya yang bekerja di sana. Rencananya,
dia dan suami akan menambah polis asuransi jiwa dan kesehatan bila sudah
memiliki momongan.
Berbeda dengan Yanti dan Fitri, pengalaman yang
dialami oleh Tiara lebih dramatis lagi. Sungguh ironis memang, Tiara (40
tahun) yang dikenal sebagai agen penjual asuransi jiwa perusahaan
multinasional, justru tidak memiliki polis asuransi satu pun. Celakanya,
tahun 2011 Tiara meninggal dunia setelah melawan penyakit kanker
serviks yang dideritanya setahun terakhir. Dia terlambat berobat. Sebab,
ketika memeriksakan kesehatan ke dokter, dia langsung divonis kanker
stadium empat. Bisa dibayangkan betapa sedih dan banyaknya biaya yang
terkuras selama masa pengobatan.
“Saya harus menjual rumah yang kami beli secara susah
payah selama bertahun-tahun bekerja untuk biaya pengobatan kanker
isteri saya,” kata Donny, suami tercinta Tiara. Tragis memang, sudah
rumahnya harus dilego, isteri pun tidak tertolong jiwanya. Nah, dengan
pengalaman buruk ini, Donny tidak mau terulang lagi. Itulah sebabnya,
kini dia membentengi diri dengan membeli produk asuransi jiwa dan
kesehatan, terutama yang ada perlindungan penyakit kritis.
Problem yang dialami Yanti, Fitri dan Tiara sering
kita jumpai di kalangan masyarakat Indonesia. Ini masalah klasik. Banyak
masyarakat yang tidak memiliki asuransi. Kalau pun sudah punya
asuransi, faktanya proteksinya tidak mencukupi. Niatnya melindungi
sepenuh hati, tapi kok jadinya setengah hati?
Celakanya, ketika musibah itu datang, aktivitas
penderita atau pencari nafkah utama terancam terganggu karena harus
menjalani pengobatan yang membutuhkan biaya tak terduga. Akibatnya,
orang-orang tercinta kena dampaknya. Di sisi lain, biaya pengobatan
terus membengkak. Bahkan, di Indonesia dalam dua tahun terakhir terjadi
peningkatan 10-14% (Global Medical Trends Survey Report tahun 2011 dari Towers Watson).
Tidak bisa dimungkiri penetrasi asuransi jiwa kita
masih rendah, karena mayoritas masyarakat belum paham manfaatnya. Ketua
Umum Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Hendrisman Rahim
mengatakan, kecilnya penetrasi asuransi jiwa itu karena masyarakat masih
belum yakin bahwa masa depannya akan terjamin dengan masuknya mereka ke
asuransi. Menurutnya, Indonesia berpenduduk ke-4 terbesar di dunia (238
juta jiwa), tapi penetrasi asuransinya masih di bawah 5%.
Pendapat Tatang Widjaja menguatkan indikasi tersebut.
“Penetrasi asuransi jiwa di Indonesia masih rendah, sekitar 1-2% dari
total populasi yang insurable, yaitu sekitar 29-30 juta orang.
Sedangkan pertumbuhan industri asuransi secara keseluruhan tahun 2012
sekitar 19-25%,” jelas Presiden Direktur PT Asuransi Jiwa Sequislife itu
menganalisa.
Pepatah bilang ada sebab, ada musabab. Begitu halnya
minimnya peserta asuransi. Mengapa masyarakat enggan berasuransi? Banyak
sebab, pakar asuransi pun angkat bicara. Menurut Profesor Hasbullah
Thabrany, Guru Besar Universitas Indonesia, rendahnya penetrasi asuransi
di Indonesia disebabkan rendahnya tingkat pendidikan dan sistem jaminan
sosial yang tidak diwajibkan. Persepsi masyarakat Indonesia masih
menganggap risiko itu di tangan Tuhan. Mayoritas masih berpikiran jangka
pendek dan belum peduli resiko.
Sebab lain? Ada beberapa mitos yang memengaruhi.
Pertama, mitos “saya masih muda dan sehat, sehingga tidak perlu
asuransi”. Faktanya, musibah atau kematian bisa datang kapan saja tanpa
mengenal usia dan kondisi.
Mitos kedua, “asuransi itu preminya mahal”. Faktanya,
beli asuransi dengan premi Rp 250 ribu per bulan juga ada. Jumlah ini
relatif tidak mahal jika kita bandingkan dengan kebutuhan untuk beli
jajanan yang mencapai sekitar Rp 8.000 per hari. Bandingkan bila Anda
harus ngopi di kafe yang mencapai Rp 30 ribu per gelas atau beli rokok
Rp 10 ribu per bungkus. Padahal, dengan premi Rp 250 ribu per bulan
untuk beli unit link misalnya, akan menghasilkan dana Rp 1 miliar selama
55 tahun masa kepesertaan asuransi. Jadi, dengan menyisihkan dana yang
tidak besar selama puluhan tahun, tidak disangka Anda akan mendapat
manfaat dana hingga Rp 1 miliar.
Lalu, mitos ketiga: “klaimnya tidak dibayar”.
Faktanya, banyak orang yang tidak paham dengan produk asuransi yang
dibelinya itu meng-cover apa saja. Ini kesalahan nasabah dan agen yang
tidak kritis terhadap polis yang dibeli. Selain itu, nasabah tidak
menginformasikan soal polis asuransi kepada ahli warisnya.
Juga, mitos bahwa “takut uangnya akan hangus”.
Faktanya, premi yang dibayar akan dikembalikan dalam bentuk uang
pertanggungan/uang santunan. Dan itu nilainya jauh lebih besar dari
nilai premi yang dibayar jika terjadi kematian. Bila tidak terjadi
kematian akan ada nilai tunai yang besarnya ditentukan oleh seberapa
lama dia menjadi nasabah.
Studi Protection Gap AIA-Markplus Insight
Hasil survei AIA Financial dan Markplus Insight yang bertajuk “Understanding Protection Gap of Life Insurance in Indonesia”
menemukan indikasi minimnya penetrasi asuransi jiwa di Tanah Air.
Survei itu dilakukan sejak Juli – September 2011 dan melibatkan 1.208
responden di 10 kota, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, dan
lainnya.
Bagaimana hasil surveinya? Fakta yang ditemukan
adalah terjadi selisih antara kepemilikan dana dan rata-rata total dana
yang dibutuhkan sebesar 77%. Artinya, keluarga yang siap hanya 23%.
Sementara itu, nilai kesenjangannya sebesar Rp 105,7 juta per keluarga.
Padahal, idealnya tiap keluarga memiliki dana proteksi Rp 137,5 juta per
tahun. Itu artinya, hingga sekarang rata-rata keluarga di Indonesia
hanya menyediakan dana proteksi Rp 21,8 juta saja.
Ade Bungsu, Chief Marketing Officer AIA
Financial, mengungkapkan temuan lain. Faktanya, sebanyak 60% penduduk
tidak memiliki asuransi atau dana cadangan untuk memproteksi diri dan
keluarga dalam mengantisipasi risiko kesehatan. Padahal, penting sekali
proteksi yang optimal, komprehensif, dan holistik dalam setiap tahap
kehidupan. “Penetrasi asuransi jiwa di Indonesia baru mencapai 17,5%
dari sekitar 60 juta keluarga di Indonesia,” tukas eksekutif berkacamata
ini. Secara nasional, kesenjangan perlindungan untuk seluruh keluarga
Indonesia diperkirakan mencapai Rp 6.128 triliun.
Itulah sebabnya, AIA bermaksud untuk membangun
pemahaman masyarakat terhadap kesenjangan proteksi. Kita perlu
mengantisipasi setiap risiko yang terjadi, termasuk penyediaan asuransi
kesehatan. Misalnya rawat inap, kecelakaan yang mengakibatkan cacat
tubuh, perawatan penyakit kritis, serta kematian. “Kami mengajak
keluarga di Indonesia untuk kembali ke asuransi yang konsep dasarnya
adalah proteksi. Makanya AIA melakukan kampanye yang disebut dengan WE
PROTECT,” tegas Ade.
Lantas, solusinya bagaimana?
Ketua Bidang Channel Distribusi AAJI, Oemin
Handayanto, mengatakan upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
berasuransi harus melibatkan semua pihak, tidak terkecuali pemerintah
dan perusahaan asuransi itu sendiri. Pemerintah bisa membantu penguatan
edukasi di lapangan, sedangkan perusahaan asuransi juga jangan pernah
menyerah untuk terus agresif menyosialisasikan pentingnya asuransi
dengan nilai proteksi yang memadai.
Dijelaskan Ade, masyarakat tidak perlu merencanakan
persiapan bagi tanggungan mereka. Cara termudah untuk melakukannya
adalah cukup dengan bertanggung jawab melindungi diri sendiri, sehingga
orang yang dicintai dapat melanjutkan sisa hidupnya tanpa kesulitan
keuangan karena ketidakhadiran pencari nafkah atau saat pencari nafkah
mengalami cacat permanen.
“AIA Financial sebagai perusahaan asuaransi global,
dapat berbagi keahlian dan pengetahuan menghadapi masalah kesenjangan
itu dan komit untuk memenuhi kebutuhan proteksi dan tabungan masyarakat.
Namun, AIA juga membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat untuk
bertanggung jawab mengatasi kesenjangan perlindungan dengan menjembatani
keadaan tersebut sedini mungkin,” Ade menguraikan lebih detail.
Seluruh segmen masyarakat menjadi target pasar AIA.
Semua pelayanan disesuaikan dengan kebutuhan nasabah. Ada produk
tradisional (asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan
diri), unit link, syariah, program kesejahteraan karyawan, program
pesangon dan dana pensiun. Jalur distribusinya juga bisa dipilih,
seperti agency, bancassurance, telemarketing dan corporate solutions.
Tidak kalah pentingnya adalah meningkat kualitas agen
asuransi sebagai ujung tombak perusahaan. Namun, hingga akhir 2010,
dari total 242.984 agen, baru 93.998 agen asuransi jiwa yang
tersertifikasi (38,6%). Akibatnya, kita belum bisa sepenuhnya berharap
agen-agen asuransi jiwa menjadi konsultan keuangan sebagaimana
diinginkan AAJI.
Malahan berdasarkan survei kepuasan pelanggan asuransi jiwa yang pernah dilakukan Riset SWA, beberapa hal yang dibutuhkan nasabah di antaranya: tingkat pengembalian investasi yang menrik (unit link); kualitas layanan call center; mutu agen asuransi; kemampuan staf customer service; informasi tepat waktu; keragaman fasilitas pembayaran premi (autodebet, ATM, kartu kredit, dsb); website
yang informatif; kunjungan agen secara rutin; polis mudah dipahami;
cepat dan akurat merespons keluhan nasabah; kecepatan membayar manfaat
polis/klaim.
Cara Mendapatkan Proteksi Maksimal
Bila sudah tertarik membeli asuransi, bagaimana
caranya agar mendapatkan proteksi yang optimal? Menurut AIA ada kiat
khusus. Pertama, ketahui cakupan proteksi Anda. Artinya, Anda perlu tahu
jumlah proteksi yang disediakan perusahaan di mana Anda bekerja.
Perhitungkan apakah jumlahnya sudah mencukupi seluruh kebutuhan setelah
terjadinya risiko.
Tips kedua, ketahui prioritas Anda. Maksudnya, dengan
memiliki asuransi, Anda akan terproteksi dan dapat diandalkan dalam
menghadapi risiko tak terduga. Alokasikan dana untuk tabungan dan
asuransi yang besarnya seimbang, hingga dapat saling mendukung.
Ketiga, pahami risiko Anda. Lingkungan, profesi dan
penyakit bawaan dapat meningkatkan risiko. Bangkitkan kesadaran akan
risiko diri, dan usahakan memiliki asuransi yang mampu memberikan
proteksi optimal terhadap risiko-risiko tersebut.
Cara keempat, belajar mengelola keuangan. Mengajarkan
sejak dini kepada anak-anak tentang pengelolaan keuangan, akan
menjadikan mereka mandiri dan cerdas, hingga kelak mereka akan mampu
mengelola keuangan.
Terakhir, banyak diskusi. Konsultasikan kondisi
keuangan Anda dengan ahli perencana keuangan, atau keluarga/teman yang
paham soal ini. Buang rasa malu untuk diskusi. Perencanaan matang,
membuat Anda lebih siap menghadapi keadaan terburuk.
Berapa sih idealnya alokasi dana untuk asuransi (jiwa/kesehatan)? Menurut pakar investasi Roy Sembel dalam bukunya berjudul “Smart Investment & Insurance Protection for Ordinary Family”,
bila Anda membutuhkan asuransi jiwa untuk tujuan khusus, seperti biaya
pendidikan anak, perhitungan uang pertanggungan yang dibutuhkan lebih
mudah. Caranya, hitung pendapatan kotor Anda dikalikan minimal 6 atau 10
kali dari pendapatan bersih.
Opini Roy dikuatkan oleh pendapat Aidil Akbar Madjid. Financial planner itu menyodorkan dua alternatif cara. Pertama, pendekatan pengalihan pendapatan. “The American Council of Life Insurance
(ACLI) menyarankan bahwa proteksi asuransi jiwa harus 5 – 7 kali
pendapatan kotor tahunan,” jelas Akbar. Jumlah yang dibutuhkan
bervariasi, tergantung ukuran keluarga, tujuan, pendapatan bersih, biaya
dan pendapatan di masa yang akan datang, serta kebutuhan gaya hidup.
Cara kedua adalah pendekatan kebutuhan. Metode ini
memperhitungkan seberapa banyak keluarga yang menjadi tanggungan bila
pencari nafkah utama meninggal dunia. Bila Anda menggunakan pendekatan
ini, pertimbangkan empat jenis kebutuhan berikut ini. Yaitu dana
darurat, dana khusus untuk kebutuhan spesifik (utang KPR, KPM, biaya
pendidikan anak,dsb), dana pensiun untuk suami/isteri dan anggota
keluarga, serta dana pendapatan keluarga untuk mendukung kehidupan
keluarga sampai mandiri.
Terlepas dari masih adanya kesenjangan proteksi
asuransi jiwa di tengah masyarakat, yang jelas prospek bisnis asuransi
kelak diyakini semua pihak masih seksi dan menggiurkan. Tidak percaya?
Simak penuturan. Peter J. Crewe yang menilai potensi industri asuransi
jiwa di Indonesia masih sangat besar seiring dengan meningkatnya
pendapatan per kapita penduduk Indonesia. “Kami melihat potensi yang
sangat besar di Indonesia, apalagi sekarang Gross Domestic Product (GDP)
per kapita sekitar $3.500. Industri asuransi akan tumbuh sangat cepat
jika GDP per kapita mencapai US$10.000. Di jakarta hal ini sudah
tercapai,” ucap Presiden Direktur AIA Financial, itu. Dan AIA akan
memosisikan untuk mengambil pasar asuransi proteksi.
Bahkan, menurut Hendrisman, industri asuransi
Indonesia tahun 2012 diprediksi akan mengalami pertumbuhan 25 – 30%,
dipacu oleh meningkatnya pangsa pasar di segmen kelas menengah hingga
bawah. Industri ini juga mempunyai visi jangka menengah dengan target
aset industri bisa mencapai Rp 500 miliar pada 2014. Untuk mencapai hal
itu harus dilakukan efisiensi infrastruktur keuangan dengan meningkatkan
kompetisi dan membawa seluruh perusahaan menjadi pemain dalam industrihttp://swa.co.id/corporate/corporate-action/saatnya-melindungi-sepenuh-hati#.UEgvIA_axmY.blogge